TENTANG PEMBICARAAN KEAGAMAAN


Katamu, kamu membicarakan agama, seolah-olah engkau ahli-dalam agama?

Jawabku, memangnya saya tidak boleh membicarakan tentang keagamaan? Tentang keyakinan saya. Kalau saya menyamakan keagamaan saya (ingat menyamakan) dengan para habib atau para kiai, maka jelas-jelas, keagamaan saya sungguh sangat rompang-ramping, keagamaan saya sangat kurang. Saya terangkan, kekurangan agama saya kalau ditinjuau dari segi ilmu-pengetahuan-objektif:

Saya shalat tidak sepenuhnya memahami apa yang saya bacakan

Saya membaca al-quran tidak sepenuhnya memahami apa yang saya bacakan

Saya menjalankan rutinitas kehidupan tidak plek dengan apa yang hadist ceritakan

Nilainya:

Shalat saya adalah shalat yang kosong. Shalat yang tidak mengerti

Bacaan saya adalah bacaan kosong, karena saya tidak memahami

Rutinitas saya adalah rutinitas tanpa pengetahuan islam, artinya nol

Maka, kalau dihitung-hitung secara ilmiah, secara objektifitas, maka keagamaan saya adalah nol. Keagamaan saya garing. Kegamaan saya ‘sekedar’ mengikuti tradisi keagamaan. Shalat sekedar menjalankan. Wudhu asal-asalan. Dan membaca al-quran, sekedar sibuk dengan tajwid. Sibuk membenarkan tanda-baca, dan saya sejauh ini tanpa mengenal isi.

Apakah keagamaan selalu dinilai dari sudut pandang system-obejektifitas-nilai?

Apakah niat bisa diukur dengan system-objektifitas-nilai?

Kalau begitu, apa ‘nilainya’ para penyampai agama yang memberikan ‘penceramahan’ lalu menangkap itu, dan menjalankan, toh tuntutan para ‘penceramah’ agama tidak untuk hapalan, hapalan dan hapalan. Yang pasti menjalankan rukun islam, dan menerima rukun iman.

Kalau saya sudah menyatakan syahadatain, bukankah saya telah berstatus islam?

Kalau saya bolang-bolong mengerjakan shalat, bukankah saya masih bersatus islam?

Kalau saya membagikan zakat namun tidak sesuai takaran, bukankah saya masih berstatus islam?

Kalau saya menunaikan puasa lalu bolong, bukankah saya masih bersatus islam?

Menurut saya, agama islam itu ringkas, sederhana dan mudah dipahami, soal bahasa, maka merekalah, yang lebih cenderung dikaruniai waktu untuk mengerti lebih lanjut, merekalah para penyampai agama, namun pada akhirnya aku-individu adalah pelaksana dari keagamaan kan? Aku-individu yang kemudian bertanggung jawab tentang keagamaan kan? Yang katanya, kalau mengikuti agama islam, sekaligus mengikuti kanjeng Rasul, nantinya saya dapat pertolongan darinya. Syukur alhamdulilah, tentunya.

Maksud saya, apakah saya tidak boleh mengekpresikan ‘nilai-nilai’ keagamaan dengan yang kemampuan saya?

Bukankah dahulu kala, tatkala kanjeng nabi, menyerukan agama, ada juga orang-orang yang tua baru masuk islam? Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk saya. Mungkin, agak telat waktu saya menyadari tentang keagamaan. Namun, apakah saya tidak boleh mengekrpesikan keagamaan saya?

Jika engkau mengatakan orang yang pandai tentang agama adalah mereka yang mengerti tentang alat-alat keagamaan: pertanyaan saya, penting mana alat atau pelaksananya? Alat adalah teori, sementara pelaksana adalah praktek.

Memang baiknya, bersamaan. Tapi saya telah ditakdirkan mendahului teori, bagaimana saya menghelak itu? Apakah yang harus menentang waktu yang telah berlalu, dan menyesal, terisak-isak sambil mengatakan: “Mengapa saya tertakdirkan seperti itu, tidak seperti yang ‘itu’?” pikir saya, hidupku, pada akhirnya bukanlah saya yang menentukan, tapi Tuhanlah yang menentukan.

Demikian…

Belum ada Komentar untuk " TENTANG PEMBICARAAN KEAGAMAAN "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel