Agama ‘dimaknai’ Sebagai Personal: Subjektif Agama


Agama bisa diartikan sebagai sistem-kemasyarakatan, yakni kumpulan komunitas orang beragama yang sama. Lalu dari itu, ada lagi komunitas yang serupa namun berbeda ‘pendapat’ dengan alasan yang logis—inilah macam-macam agama. 

Selanjutnya, dari agama yang sama pun, mempunyai perbedaan pendapat, alasannya karena mempunyai visi yang berbeda: misalnya, agama yang terkonsentrasi pada tawasuf, dan agama yang terkonsentrasi pada fikih. Tentu eksistensinya berbeda, jelas. 

Fikih yang ditawarkan dari pihak tasawuf adalah kelenturan fikih, sebab yang diutamakan dari ketawasufan adalah esensi.

Sementara fikih yang ditawarkan dari pihak fikih adalah kekokohnya fikih, sebab yang diutamakan dari kefikihan adalah eksistensi. 

Bagi pihak tawasuf, pembenaran adalah bersifat terus menerus, dan yang paling diutamakan adalah esensi.

Sementara dari pihak fikih, pembenaran adalah kepastian, dan yang paling diutamakan adalah eksistensi.

Selanjutnya, agama menjadi komunitas kecil-kecilan, lintasnya adalah kabupaten, kemudian kecamatan, kemudian desa, kemudian personal. 

Personal adalah pelaku agama yang ditawarkan oleh-system keagamaan setempat, yang kemudian terpengaruh dengan gelombang-keagamaan yang tubuh personal itu berada.

Saya berada di bangku kuliah, di sinilah titik singgung konflik mulai merajalela. Dan apa yang paling fokus terkonflik bagi saya: yakni, data-objektif-pengetahuan keagamaan.

Apakah setiap pelaku agama harus ‘memahami’ apa yang dilakukannya?

Jawabnya:

Proses memahami tidak seringkas itu, sebelum memahami maka harus mengetahui, dalam artian setiap muslim memang dituntut untuk mengetahui apa-apa yang dilakukan. Oleh karenanya, penting bagi setiap muslim: belajar, dalam arti, untuk mengerti apa-apa yang dikerjakan. Jika dinilai secara fikih dan ketat: maka keagamaanmu telah sempurna kalau engkau melaksanakan apa-apa yang dituangkan dalam kitab fikih yang kamu anut. Seringkas kata, engkau harus mempunyai kitab fikih yang kamu anut. Kalau tidak, maka segeralah konfirmasi kitab fikih yang biasa kamu anut.

Bagaimana mencarinya? Tentu, kembali ke desamu. Karena pengetahuan dasar berada pada tempat tinggalmu, dan keberagamaanmu terpengeruh dengan keberagamaan desamu: karena secara otomatis engkau adalah anak desa. Yang melihat aktifitas keagamaan di sana. Yang menyaksikan aktifitas keagamaan di sana.

Telah engkau dapatkan, bahwa kitab fikih yang dianut adalah kitab madhab syafi’i, dengan judul kitab mabadi fikih—itu kitab dasar, yang menjadi pegangan buatmu. Kitab dasar fikihmu. Selanjutnya, ketika engkau bertemu dengan orang-orang yang berbeda ucapan, atau tindakan dalam hal ibadah. Maka sangat penting mengkonfirmasi tentang apa yang mereka lakukan? Di diskusikan, mengapa mereka menjadi seperti itu? Dan pastinya mempunyai kitab yang berbeda sebagai dasar, yang ditetapkan oleh orang-orang desa yang berbeda.

Setiap desa mempunyai penggede keislaman masing-masing. Setiap desa mempunyai persoalan keagamaan masing-masing. Itu penting engkau ketahui. Artinya, ketika engkau menawarkan sebuah cerita atau yang menjadikan konflik, maka engkau harus mengerti perbedaan jelas diantar tersebut.

Dasar-dasar konflik sebut saja, adanya perbedaan. Dan mengapa harus berbeda: karena berbeda itu adalah suatu ketetapan yang tidak bisa dihelak. Perbedaan tidak bisa disangkal. Bakal selalu ada. Di dalam dirimu saja terjadi konflik: tentu, di luar, konfliknya lebih banyak.

Aku tahu kamu berkonflik antara akal dan hati, yang tujuannya adalah melekatnya pengetahuan-islam. itu pun konflik. Cara pemecahannya: engkau harus mengetahui dalil-dalil secara akal, lalu diterapkan dalam hati. Seringkas itu. Setiap hari tambahkan pundi-pundi dalilmu, dan jalankan oleh dirimu, bersama dengan itu: hatimu tidak akan berkonflik. 

Lalu konflik ektrenal: jangan gegabah untuk mencari mana yang benar, mana yang salah: dalam sejarahnya, konflik keagamaan tidak seringkas itu. Berawal dari subjektif, menjelma objektif, kenanglah zaman pertengahan, dimana agama menjadi puncak kekuasaan. Agama menjadi perpolitikan. Kenanglah zaman di masa kanjeng nabi, dan sesudahnya: agama menjadi sistem politik, menjadi sistem yang kokoh, dan konflik internal pun ada. Perbedaan madhab-madhab, perbedaan ilmu-kalam, perbedaan tafsir, dan berpedaan yang lain muncul. 

Oleh karenanya: berikan yang lain menguraikan alasan demi alasan, apakah alasannya berdasar atau tidak. Dan kenalilah, konflik keagamaan itu pun harus terjadi: alasannya, karena setiap individu mempunyai tali yang berbeda sekali pun sumbernya sama, lebih khususnya setiap individu mempunyai karakter yang berbeda, itulah yang menjadikan mereka konflik. Tujuan konflik, untuk menguatkan tentang kesamaan. Jika ditinjau dari keluasan atau keumuman: tujuan manusia berkonflik adalah menunjukan eksistensi bahwa manusia-memang-mahluk yang berkonflik.

Belum ada Komentar untuk "Agama ‘dimaknai’ Sebagai Personal: Subjektif Agama"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel