Filsafat Nusantara: Kehilangan Identitas: Siapa Saya?

filsafat nusantara_hidayat tf

Semakin zamannya maju, saya mulai kehilangan identitas, bukan dari kejawaan, atau keropaan, atau kearaban, melainkan menjelma keindonesiaan. 

Pertanyaannya bagaimana menemukan identitas asli saya?

Bukan kejawaan: karena tidak mengenal baik tentang kejawaan.

Bukan kearaban: karena tidak begitu baik tentang kearaban.

Bukan keeropaan: karena tidak begitu baik tentang keeropaan.

Hal itu terjadi karena tekanan kondisi keadaan yang menganjurkan untuk prularistik (kebersamaan) yang ada di Indonesia:

Pendidikan mengajarkan untuk menjadi keindonesiaan—yakni kejawaan, keeropaan, dan berada dilingkungan yang religious. 

Gencaranan pendidikan mengajurkan orang menjalani rutinitas ilmiah, namun kondisi tidak begitu sarat dengan ilmiah: kondisi (kaum pekerja) menjalani hidup dengan sederhana, tidak muluk-muluk, ditambah lagi dengan hal-hal ringkas, serta tambahan sains, menjadikan orang-orang untuk bergencar kepada sesuatu yang berkiblat pada eropa. Ukuran sains adalah keropaan atau kebaratan.

Sementara kondisi lingkungan adalah sarat dengan religious—yakni sarat dengan ketimuran, yang menjalankan keaktifitasan keagamaan. Aktifitas agama menjadi sebuah ajang rutintas, yang mampu di dengar, di lihat dan di rasakan:

Efek-efek dari eksistensi manusia di zaman postmodern.

Selain itu, saya, berada di lingkungan jawa, yang ternyata tidak sepenuhnya mengenal tentang kejawaannya, yang perlahan-lahan melebur menjelma keindonesiaan, karena setiap hari menggunakan diksi Indonesia dan diasupkan diksi keindonesiaan.

Dimasuki diksi Indonesia tentu karena adanya sekolahan—arah dari sekolah senantiasa berpengetahuan ilmiah: dan berbahasa Indonesia, maka mau tidak mau saya laksana dipaksa meninggalkan kedaerahan saya, namun masih tetap eksis karena saya berada pada kondisi lingkungan yang berkedaerahan, dan mengikuti tradisi kedaerahan dan juga mengikuti hukum-hukum agak ketimuran sekaligus kebaratan—

Apakah salah kalau daerah mengengggam budaya ketimuran yang diakulturasikan menjadi keislaman?

Apakah salah kalau daerah menggenggam budaya barat yang diakulturasikan menjadi budaya Indonesia?

Apakah salah kalau adanya pertemuan budaya-daerah dan budaya barat-timur dan menjelma keindonesiaan?

Jawabnya, terjadi kekacauan konsentrasi dan bagi saya adalah kehilangan indentitas ‘jati-diri’ bahkan untuk mengatakan ‘jati-diri’ Indonesia menjadi aneh:

Saya adalah orang Indonesia, yang berpengetahuan agak kearaban, dan agak ketimuran, dan budaya daerah: sebabnya saya menjalani rutinitas ketiganya sekaligus, sehingga bagaimana identitas saya sekarang?

Apa filosofi yang mendasari saya?

Saya tidak bisa dikatakan menjadi kejawen karena saya tidak focus dalam kejawanan!

Saya tidak bisa dikatakan menjadi kearaban karena saya tidak focus dalam kearaban!

Saya tidak bisa dikatakan menjadi kebaratan karena saya tidak focus dalam kebaratan!

Saya harusnya dikatakan indonesi: seperti apa keindonesiaannya?

Yakni, perpaduan di antara ketiganya itu: perpaduan yang menjadikan kehilangan landasan tentang tujuan hidup. Kehilangan landasan karena kemasukan ketiga budaya itu sekaligus!

Sesekali saya menolak kalau saya diklaim kejawaan, karena memang saya tidak focus kejawaan.

Sesekali saya menolak di klaim ke eropaan, karena memang saya tidak focus menjadi keropaan.

Sesekali saya menolak di klaim ke araban, karena memang saya tidak focus menjadi keraraban.

Lantas apa yang menjadi dasaran hidup saya? Landasan kokoh saya—


Jawaban dari agama, saya pikir tidak akan kongkrit, karena masalahnya bukan sekedar agama: jawaban dari ‘kebaratan’ saya pikir tidak kongkrit karena saya tidak sepenuhnya focus pada itu. Maka untuk itu, diperlukan filsafat. Mencari ulang tentang identitas Indonesia di zaman postmodern?

Belum ada Komentar untuk "Filsafat Nusantara: Kehilangan Identitas: Siapa Saya?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel