Islam, Technology, dan Zaman Postrealitas


Kemelejitan technology, memurnikan manusia untuk bersifat materialistic, ‘agama islam’ atau orang-orang muslim tidak bisa melarang merebaknya technology, sebab technology lahir dari ukuran sains, selain itu, technology adalah berkaitan dengan jalinan kemanusiaan; materi kemanusiaan, sementara ‘agama islam’ pada dasarnya berada dalam ‘diri’ kemanusiaan.

Agama islam berada dalam diri manusia, maksudnya, bahwa agama-islam menjadi konsep pemikiran yang kemudian melahirkan realitas islam, sebuah keyakinan yang mewujudkan keislaman. Pendek kata, kamu beragama, maka letak ‘keberagamaan’mu berada di dalam dan luar dirimu, sementara technology adalah ukurannya di luar lalu ke dalam.

Dan memang orang-orang yang melakukan keteknologian, atau ahli technology berpikir keras dengan metode penelitian dari ilmu-ilmu sebelumnya. Kecenderungan orang ahli technology adalah menyempurnakan ‘technology’ yang telah ada, atau mengembangkan technology yang telah ada. Dengan rumusan ilmiah: yakni metode empiris, rasionalis, dan sistematis. Soal agama itu perkara lain? Agama berada dalam tataran kemasyarakatan, sementara keilmuan berada dalam ukuran akademis.

Sekarang, realitasnya, alat-alat technology telah merebak, alat-alat technology semakin melejit di hamparan bumi. Manusia merayakan keberadaan technology, manusia-muslim pun merayakan itu, karena memang technology adalah produk yang mempermudah jalinan kemanusiaan: soal baik-buruk dan dampak dari technology tentu itu perkara yang lain. Tergantung kepada individu mau menggunakan:

Apakah mau diarahkan pada kebaikan?

Apakah mau diarahkan pada keburukan?

Bersamaan dengan itu, bisa saja terjadi. Jadi, bagaimana umat islam menyikapi hal tersebut? Jawabku, tetap saja seperti di atas, tergantung individu menyikapi alat-alat technology.

Efek-efek dari technology mutakhir, computer, gadget, dan negeri internet, menjadikan manusia pada issue postrealitas. Postrealitas adalah bahwa keadaan realitas telah menjadi post (naungan, tempat) dan mereka berjalan-jalan di luar realitas yang sebenarnya:

Mereka bergentayangan di dunia-maya

Mereka bergentayangan di dunia-virtual (media televise, layar)

Pekerjaannya sekedar pekerjaan symbol (pekerjaan yang melalui jarak, karena maraknya internet)

Dampaknya begitu.

Namun bagi umat islam, bagi saya, sejauh analisis saya, islam masih mengajak untuk menjadi realitas yang sungguhnya. Realitas yang harus berjumpa dengan realitas. Ukuran realitas adalah tentang keberadaan shalat. Shalat—yang jengkang-jengking itu—sungguh sangat mengantarkan manusia untuk menjadi manusia; menjalani kehidupan selayaknya manusia.

Manusia masih dituntut untuk mendengarkan sang imam.

Manusia masih dituntut untuk mendengarkan muazin.

Manusia masih dituntut melakukan secara realitas.

Manusia masih dituntut untuk melakukan wudhu.

Manusia masih dituntut untuk shalat demi kepentingan dirinya sendiri.

Begitulah tawaran keislaman, sehingga manusia tetap menjadi manusia yang sebenarnya. Bersamaan dengan itu, tentu tradisi keislaman lain, masih terjalin:

Belajar tentang keislaman lebih lanjut—ini terjadi karena efek pendengaran sang imam.

Memperdalam ilmu agama lebih lanjut—yang bersifat spiritual, yakni tentang hati.

Menjauhi dari hal-hal teknologi—lebih menegaskan tentang individualistic di dunia.

Wal-hasil, umat-muslim, sekali pun zaman melalang-buana tentang technology dan sains, tetap saja, menawarkan tentang realitas yang sesungguhnya: apa realitas yang sesungguhnya? Yakni, sesuatu yang nyata dan benar-benar nyata, yang kemudian mengantarkan pada konsep-epistemologi islam, yakni dunia-sesungguhnya, kelak, yakni dunia akhirat.

Hidup islam…

Belum ada Komentar untuk "Islam, Technology, dan Zaman Postrealitas "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel