Keimanan di Era Technology





Kenalilah Taufik, bahwasanya iman itu letaknya di dalam diri manusia. Sekali pun di zaman technology, maka iman berada di dalam diri manusia. Pasangkan: iman di dalam diri manusia. Ya! Di dalam diri manusia. Memangnya apa yang engkau ketahui tentang arti iman? Bukankah iman adalah percaya. Lantas, dimana tempatnya ‘percaya’, Taufik?

Sebuah contoh, tatkala kamu mempercayaiku, memangnya ‘tempatnya’ itu dimana? Apakah letaknya berada di ujung-lidahmu, pada kata-katamu, pada koar-koar bibirmu tentang diriku? Bukankah dasarnya ada di dalam dirimu: setelah kokoh di dalam dirimu, lantas bibirmu memunculkan diksi-diksi tentang ‘namaku’, tentang ‘ceritaku’, tentang ‘kedirianku’, dan orang-orang yang mendengarmu, lantas tergiring kepadaku. Hal itu terjadi karena engkau mempercayaiku.

Selanjutnya, mari dikorek lagi, diurai lagi: sejak kapan engkau percaya kepadaku? Jawabnya, sejak engkau nyaman kepadaku. Sejak engkau damai kepadaku. Dan apa yang menjadikanmu nyaman kepadaku? Apa saja yang menjadikanmu damai kepadaku?

Jawabmu: karena aku merasa ‘nyaman’ saja berada bersamamu, ‘nyaman’ saja saat mengingatmu.

Kataku, apakah sepenuhnya ‘nyaman’ saat engkau bersamaku? Apakah sepenuhnya ‘nyaman’ saat mengingatku?

Jawabmu: kadangkala aku merasa tidak nyaman saat bersamamu, karena engkau terlalu jeli membaca diriku, engkau laksana mengudari seluruh diriku, engkau laksana membuka seluruh kedok rahasiaku. Saat itulah aku sangat-tidak nyaman. Sekali pun seperti itu, ketika aku dilanda sesuatu atas diriku, entah mengapa aku selalu datang kepadamu dan saat itu juga: aku merasa semua ‘laksana’ hilang. Semua tidak ada yang layak dipersoalkan. Semua ‘soal’ memang harus ada, dan penting dijawab. Dan saat datang kepadamu, memang saya tidak mendapatkan jawaban, namun saya merasa ‘tertenangkan’ dan dari itu saya bergeregah untuk mencari jawaban.

Selanjutnya, tentang mengingatmu: mengingatmu secara terus menerus, juga sebenarnya tidak membuatku nyaman, sangat-sangat tidak membuatku ‘nyaman’ karena aku laksana diintai oleh dirimu, pergerakanmu di awasi oleh dirimu, dan seringkali aku ‘teruji’ oleh kalimatmu yang mengawasi pergerakanmu: mulai dari ibadah, hingga pada aktifitas-aktifitas lainnya. Aku merasa terawasi olehmu.

Kataku, jadi sekarang: apa makna ‘nyaman’mu kepadaku? Adalah laksana dua-kutub yang seringkali bertentangan bukan?

Lantas, bagaimana keimanan di era technology?

Jawabnya: sekalipun di era technology, tetap saja, keimanan berada di dalam diri, lalu ‘mewujud’, ‘mengeksis’, dan membuktikan ‘keimanan’ itu: bukankah itu yang engkau lakukan kepadaku? Engkau berusaha ‘mewujudkan’, ‘mengeksiskan’, ‘menarsiskan’, tentang keimananmu.

Kenalilah taufik, technology itu adaah wujud, eksis, dunia-luar, soal iman itu berada di dalam, di dunia-dalam, tidak ada yang bisa mengubahnya kalau engkau telah beriman dan mendapatkan ‘nyaman’nya iman. Sekarang: siapakah yang mampu ‘merubuhkan’ keimananmu? Siapakah yang mampu ‘menodai’ rasa ‘nyamanmu’ kepadaku? Terlebih lagi, yang kita iman adalah Allah, yang memiiki semesta raya, yang menguasai alam semesta.

Memangnya, siapa yang mampu ‘menghancurkan’nya? Siapa yang mampu ‘mengebom’ semesta raya?

Jika pun mereka ‘merusak’ alam, toh itu bukan seluruh-alam, hanya sebagian. Lha Allah? Dialah yang menguasai semesta raya. Dialah yang memiliki semesta raya.

Orang-orang bisa saja ‘merenyekkan’ bumi! Tapi mereka tidak akan mampu ‘merenyekkan’ langit. Mereka tidak akan mampu ‘mengebom’ apa-apa yang ada di langit: bukalah buku-bukumu tentang cosmology, tentang apa-apa yang ada di langit, pasti engkau akan mengetahui, akan memahami: bahwa allah adalah maha besar. Kenapa? Karena alam ‘sejauh’ yang dimengerti saja ‘sangat besar’ bagaimana dengan pencipta-Nya? Dialah yang menguasai semesta raya. Kita mengimani itu.

Sekali pun maraknya alat-alat technology, karena ini memang zamannya, lantas mau bagaimana? Tidak bisa dicegah, Taufik. Tidak bisa! Pergerakan manusia itu selalu maju, alasannya? Karena akalnya.

Lantas bagimana keimanan di era technology? Jawabnya lagi, tetap saja, iman itu berada di dalam diri manusia, sementara technology itu berada di luar manusia. Keimanan itu tentang rasa di dalam diri manusia, sementara technology adalah pelengkap untuk perasaan itu. ingatlah itu, Taufik.

2017

Belum ada Komentar untuk "Keimanan di Era Technology"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel