Kondisi Muslim di Zaman Postmodern


Zaman postmodern adalah zaman sesudah modern: apa itu tandanya? Yakni, maraknya technology, maraknya sains: buktinya? Telekomunikasi, Transportasi, dan Media. Dengan ketiga kata kunci tersebut, maka dunia semakin ditegaskan adalah tentang perkara yang ringkas dan sebentar, namun tidak bisa dikatakan seperti itu karena: dunia juga sarat dengan pemadatan, tawaran keluasaan, kebesaran, dan keramaian, sekali pun pada dasarnya realitas adalah tentang kenyataan yang menghampiri dirinya: kenyataan yang menjalin dirinya:

Tawaran media adalah alat; issue atau informasi yang kadang penting sekaligus tidak penting juga. Dan ini penting, karena ini adalah alat untuk pengetahuan, pengisi hiburan, pengisi kekosongan.

Telekomunikasi adalah alat; –tentang dunia jaringan, dunia maya, dunia internet—itu juga penting sekaligus tidak penting juga. Karena ini adalah alat untuk berkomunikasi, gantinya mulut, gantinya apa-apa yang dipikirkan, yang dituangkan secara ringkas dan cepat.

Transportasi, tentu ini juga antara penting sekaligus tidak penting juga—sebab tidak semua orang harus mempunyai kendaraan. Tidak semua orang harus mempunyai mobil yang berlipat-lipat. Tidak. Sekali pun harus punya. Karena kendaraan, namanya juga, kendaraan, tentu penting. Karena ini adalah alat pengganti ‘kaki’.

Begitulah realitas yang ditawarkan pada zaman postmodern, lantas bagaimana dengan Kondisi muslim di zaman seperti itu?

Pertama, adakah yang salah dengan hal tersebut, atau mengkhawatirkan bagi umat-muslim, karena berdesak-desakan tentang kemajuan zaman: apakah dengan itu lebih menegaskan bahwa manusia bersifat individualistic dan materialistic? Sebab sarat-sarat untuk mendapatkan itu, kaum muslim harus bekerja keras untuk mendapatkan itu— Memangnya kalau tidak menggunakan itu, umat-muslim tidak bekerja keras?

Kedua, apakah dengan maraknya ketiga kata-kunci lalu mengubah tentang aktifitas shalat, yakni shalat yang harus dikerjakan secara realitas, atau, umat muslim enggan melaksanakan shalat karena sibuk dengan ketiga kata-kunci tersebut? Bukankah sebelum adanya itu, manusia juga sering menyibukkan diri tentang pekerjaannya; banyak juga yang tidak menunaikan shalat, dan mempura-purakan diri tidak mendengar ‘seruan’ muazin. Justru, karena adanya ‘speaker’ langit-langit ramai terhadap seruan; pintu taubat masih terbuka, kalau mau, kalau tidak berarti petunjuk Allah belum sampai kepadanya.

Ketiga, jika manusia-muslim dengan alat techologynya, sibuk dengan perangkat technology, memangnya salah? Toh para pelajar muslim pun juga bakal sibuk dengan techonologynya—dengan technology pelajar muslim ‘terbantu’ untuk menguasai pelajaran ini, itu dan seterusnya: jika dilihat dari sudut buruknya, banyaknya ‘gambar-gambar’ yang dilarang umat-muslim, banyaknya situs-situs ‘buruk’ yang mempengaruhi mental anak: kataku, bukankah itu telah masanya? Jika anak mempunyai waktu untuk kebebasan dan tidak terikat-kuat oleh pendidikan, maka jadilah anak tersebut dalam kalangan postmodern: yakni saling terjalin manusia yang lain, dan bahkan bisa berkomunikasi dengan manusia lain, dan melihat sesuatu yang anak-inginkan, efeknya: sisi kemanusiaan anak mencuat. Oleh karenanya penting mendidik anak ke pesantren—manusia muslim harus percaya, bahwa anak adalah titipan dari tuhan—maksud saya jika yang dikhawatirkan tentang moralitas anak: pendidikan mana yang layak untuk moral kecuali di pesantren? Tawaran yang diharapkan agama bukanlah tentang kemewahan dunia, namun kebagusan moral (akhlak).

Begitu juga jawabanku, tentang kondisi muslim di zaman postmodern.

Belum ada Komentar untuk "Kondisi Muslim di Zaman Postmodern"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel