Melacak Filsafat Manusia-Nusantara (Mencari landasan hidup, manusia nusantara)

Hidayat tf_filsafat nusantara_postmodern



Saya, sejauh ini, tidak mengerti tentang landasan hidup saya, oleh karenanya saya mencari bagaimana sesungguhnya landasan hidup saya: saya adalah manusia-indonesia, masih tidak mengetahui dengan jelas, apa landasan hidup saya.

Sebagaimana kajian psikologi, manusia dipengerahui oleh internal dan eksternal:

Lingkungan keluarga, masyarakat, dan khususnya tentang kenegaraan, lebih luasnya lintas international.

a. Lewat Keluarga Penerapan Filsafat

Saya melancak tentang bagaimana kehidupan keluarga saya. Saya dapatkan prinsip yang diterapkan dari keluarga saya, dengan kata kunci:

Bekerja, bekerja, dan jangan lupa ibadah.

Sering saya dikatakan, “Yang penting itu bekerja, kalau tidak punya pangan, bagaimana ibadahnya?”

Seringkas kata, maksud dari kalimat itu: bagaimana kau bisa ibadah, kalau syarat materi tidak tercukupi? Kau harus bekerja, setelah itu barulah beribadah! Uang itu tidak akan turun dari langit.

Dari itu saya mendapatkan satu prinsip dasar: yakni, Materi. Lebih mengutamakan materi.

Kedua, idealisme, yakni merujuk kepada agama. Sebab, setiap agama, pasti berprinsip idealisme, yakni sesuatu yagn dicita-citakan dari agama: negeri surga.

Selanjutnya, mengapa kelurga saya menjadikan prinsip seperti itu? jawabnya, ada pada lingkungan.

b. Lingkungan Masyarakat Membentuk Filsafat

Lingkungan kami adalah lingkungan pertanian, mempunyai lahan-lahan yang besar terhadap pertanian, itu terjadi, sekitar tahun 1930, tatkala orang-orang pembukaan, mulai merantau dari pulau jawa pindah ke lampung, menurut ceritanya:

“Siapa yang giat bekerja, maka mereka mempunyai lahan yang besar untuk garapan sawah.”

Maka orang-orang pembuka, yang diketuai oleh Nahwawi, menjadi giat untuk menebangi pohon-pohon. Mereka giat menebangi pohon-pohon, yang selanjutnya, dari itu maka akan ditanami tani.

Begitulah proses lingungan, yang kemudian membentuk struktur kehidupan, berlandaskan jawa. Alasannya, karena mereka transmigrasi dari pulau jawa ke lampung.

Sementara itu, status kenegaraan Indonesia, yang berpusat di Batavia, telah melangsungkan kegiatan politik, dan kegiatan politik telah bersentuhan dengan filsafat sedang tren saat itu, yakni merebaknya, Kapitalisme. Merebaknya ajaran Karl Mark.

Sebab orang-orang eropa berada juga di Indonesia, tentu mempengaruhi pola pikir manusia Indonesia umumnya, dan mempengaruhi pola-pikir Nahwawi, namun tidak sepenuhnya, karena status geografis manusia-eropa dan manusia-indonesia berbeda jauh: Indonesia sarat akan rempah-rempah. Tanahnya subur. Itulah yang menjadikan landasan fisafatnya tidak diterima sepenuhnya.

Terlebih lagi, tidak semua manusia nusantara-belum melek terhadap teks-teks latin, yang dibawa oleh orang-orang eropa. Manusia-nusantara, pada umumnya, masih mengikuti perjalanan-hidup orang-orang terhadulu: yakni lingkungannya. Dukungan lingkungan adalah alam.

Saat Nahrawi bersama teman-temannya, berpindah di pulau Sumatera, maka mereka sibuk dengan rutinitas kehidupan alam. Bertani, bertani, dan jangan lupa ibadah.

Ibadah itu mereka bawa dari jawa. Sebab, jawa telah mengenal agama sejak dulu: agama bagi orang jawa telah mengakar. Pertama agama hindu-budha, yang kemudian agama islam. agama ini sama-sama menekankan tentang ketidak-pentingan dunia—namun dunia menjadi alat untuk kepentingan akhirat.

Hindu-budha berpikir seperti itu, islam juga seperti itu.

Mengapa hal itu bisa terjadi?

Jawabnya, karena agama itu memberikan contoh yang baik. Seorang pendeta, harus memberikan contoh yang baik—pada mulanya begitu. Seorang penyebar agama pasti memberikan contoh yang baik.

Terlebih lagi, karena posisi nusantara yang kental dengan alamnya, maka kemasukan kedua agama tersebut tidak akan payah. Sebab, yang dianjurkan dari kedua agama itu, tentang kebaikan bersama dan hal itu tidak harus muluk-muluk dengan pemikiran. Agamanya mudah diterima.

Agama hindhu-budha, pendetanya, unsur pertapa. Sementara agama islam, ulamanya, unsur dzikir (mengingat). Sekali pun ada perbedaannya, namun jelas sekali ada persamaannya: yakni berusaha mendapatkan pencerahan diri dengan cara menyendiri. Berpikir diri sendiri.

Tatkala kehidupan sawah agak mapan, karena hidup menetap, maka Nahrawi mengambil tokoh agama dari jawa, untuk mengajari kegamaan di desa yang diketuai. Mulai dari ini, keagamaan semakin terbentuk: menjadi jelas akan eksistensinya agama.

Sebab keadaan, situasi adalah kaum pekerja, maka agama adalah menjadi sampingan, artinya ilmu-agama adalah sampingan yang diajarkan. Ilmu agama diajarkan kepada anak-anak pada waktu yang itu tidak mengganggu untuk bekerja, selain itu, system sekolah pun diisukan lebih lanjut dari pemerintahan pusat.

Karena sekolah waktu itu, belum ada efek lanjutnya. Sekolah adalah belajar tentang agama. Ini, masih mengikuti tradisi zaman dulu. Sekolah adalah belajar tentang agama. Mengenal lebih lanjut tentang agama. Yang durasi waktunya, adalah sore dan malam hari.

Sebab telah ada Kiai, maka sekolah-ngaji pun diberlakukan. Aktifitas sore, dan malam hari dilaksanakan. Terlebih lagi, sebab ada Kiai, maka orang-orang pendahulu pun turut mengaji, mendengar pengajian dari sang Kiai. Oleh karenanya, interaksi agama dan masyarakat terjalin, erat.

Maka semakin kokoh, dasar pemikiran manusia-perantauan ini, yang memegang prinsip: idealisme-materialisme.

Apa-pun itu, kalaulah dibolak-balik tetap saja: materialism-idealisme atau idealisme-materalis: yang jelas, idealisme dari sector agama, dan materialism dari sector perekonomian (kelangsungan hidup).

c. Filsafat Nusantara Masa Kini

Landasan utama masyarakat nusantara adalah idealisme-materialisme: maka kelanjutanya apa? Kelanjutanya: filsafatnya mampu terpecah menjadi idealisme murni, bahkan materialism murni. Selain itu, masih juga tetap pada filsafat dasarnya: idealisme-materialism.

Belum ada Komentar untuk " Melacak Filsafat Manusia-Nusantara (Mencari landasan hidup, manusia nusantara) "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel