Nasihat Rendahkanlah Pemikiranmu






Rendahkanlah pemikiranmu itu, Taufik, kau harus ‘tahu’ bahwa arus pemikiranmu itu, atau ‘sesuatu’ yang dikatakan orang-orang adalah arus yang tinggi. Tegangan yang kuat. Gelombang yang besar.

Kajian tentang ketuhanan.

Kajian tentang kefilsafatan

Kajian tentang postmodern.

Kajian tentang keislaman.

Kajian tentang ke-umat-an.

Kajian tentang kenegaraan.

Demikianlah ‘arus-arus’ yang melanda dirimu, arus-arus yang ada dalam pemikiranmu. Resapilah bahwa kajianmu itu kajian orang-orang yang hebat, orang-orang yang cerdas, orang-orang yang berposisi telah mapan terhadap materinya, telah mempunyai pendapat untuk mencukupi tentang dirinya, telah mencukupi tentang kebutuhan pokoknya: apa itu? sandang, pangan, dan papan.

Kau tahu tentang Michele Faoucoult, kau tahu tentang Jaques Derrida, kau tahu tentang Jean Baudrillard, kau juga tahu tentang Yasraf Amir Piliang: kenanglah nama itu pada ranah kenyataan bukan sekedar nama, melainkan begelar dan bergengsi:

Kau tahu tentang professor Michele Faocoult, kau tahu tentang Professor Jaques Derrida, kau tahun tentang Profesor Jean Baudrillard, dan kau juga tahu tentang professor Yasraf Amir Pilliang: professor itulah yang penting engkau ketahui; julukan professor itulah yang harus engkau ketahui, harus engkau pahami:

Pada dasarnya sebelum menjadi professor maka mereka menaiki tangga demi tangga ‘pengetahuan’, sehingga kemudian mereka mampu mengklaim ini-itu, berpikiran ini-itu: kalaulah engkau ‘jenguk’ sekali lagi tentang pemikiran mereka, pastilah engkau dapatkan, bahwa itulah yang terpikirkan oleh mereka.

Itulah yang terpikirkan oleh mereka.

Itulah yang ada di dalam ‘pikiran’ mereka.

Itulah yang menganggu ‘pikiran’ mereka.

Itulah ‘masalah’ dari dalam pikiran mereka.

Sehingga mereka mengeluarkan apa-apa yang ada di pikirannya, mencurahkan apa-apa yang dipikirkan, maka jadilah pemikiran mereka. Dan mengapa harus dikeluarkan? Karena memang harus dikeluarkan, tidak akan tahan kalau disimpan dalam dirinya sendiri.

Mari diurai, mengapa pemikiran itu muncul?

Jawabnya, karena mereka ‘membaca’ tentang sesuatu yang memang disukai oleh jiwanya, oleh pemikirannya, selanjutnya, mereka ‘terdorong’ untuk membaca dan terus membaca: hasilnya, mereka menemukan apa yang mereka cari itu. Namun, ingatlah, dibalik itu semua:

Sesungguhnya mereka tetap ‘penasaran’ dengan apa yang terjadi.

Mereka berusaha ‘menemukan’ hidupnya dengan apa yang terjadi.

Namun tetaplah diingat, bahwa mereka itu telah ‘tercukupkan’ akan materi, mereka itu tercukupi kebutuhan materinya, terlebih lagi, mereka rajin membaca, mereka sibuk membaca:

Apakah engkau rajin membaca layaknya mereka?

Apakah engkau rajin ‘berusaha’ mengetahui layaknya mereka?

Oleh karenanya, rendahkanlah pemikiranmu. Lihatlah sekali lagi, realitasmu, kenyataanmu: apakah kenyatanmu itu menuntutmu untuk berpikiran tentang hal-hal besar?

Apakah kenyataanmu itu seseram yang kau bayangkan?

Apakah kenyataan itu seperti apa yang kau pikirkan?

Kenalilah Taufik, kenyataan itu berjalan tenang: tidak cepat, tidak lambat, sedang-sedang saja. tentang ketuhanan, tentang keumatan, tentang kefilsafatan, tentang kenegaraan, tentang apa-pun itu: hal itu perjalanannya adalah melalui proses, tidak mak-glezeg tercipta, kecuali tentang kejadian alam, tentang fenomena alam. Tentang kejadian-kejadian di luar pemikiran manusia, di luar daya-nalar manusia: itulah ketiba-tibaan.

Maksud saya kemari, bersama dengan nasihat ini, tentu mengingatkanmu, tentang hal-hal dasar tentang proyeksi pemikiran: pada dasarnya pemikiran itu berguna untuk dirimu, menyelamatkan ‘jasad’mu, menyelamatkan proses hidupmu, yang kelak membentuk ‘pemikiranmu’, dan membentuk ‘identitasmu’, membentuk ‘kedudukanmu.’ Namun sekarang, lihatlah dirimu: lihatlah realitasmu, dan pahamilah, bahwa yang engkau pikirkan adalah sesuatu yang besar. Sesuatu yang berkedudukan besar. Beridentitas besar. Berpemikiran besar.

Oleh karenanya, persempitlah pemikiranmu dengan modal bekas-bekas pemikiran besar, identitas besar, kesesuatu yang besar: menjadi manusia yang realitas, manusia layaknya manusia.

Kenanglah Taufik, merendahkan-pemikiranmu bukan berarti engkau jatuh pada ‘sesuatu yang rendah’, merendahakan-pemikiran bukan berarti engkau lepas dari pemikiran yang tinggi. Merendahkan pemikiran bukan berarti engkau melepas sepenuhnya pemikiran yang tinggi: sungguh, pemikiran yang ‘tinggi’ itulah godaan, Taufik, terlebih lagi buatmu: jelas-jelas itu godaan, karena ‘realitasmu’ belum selamat atau layak dikatakan ‘damai’ bersamaan dengan pemikiran tinggimu, sebab dari itu rendahkanlah pemikiranmu.

Selamat mencoba…

Belum ada Komentar untuk "Nasihat Rendahkanlah Pemikiranmu "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel