NASIHAT: TENTANG KONDISI ATAU KEADAAN YANG DI SEBUT ‘DERITA’

Derita atau sedih atau nestapa atau sebangsanya: bila itu melekat pada manusia, bukankah itu wajar? Apakah itu salah?

Apakah salah tatkala kita bersedih?

Apakah kita mampu mencegah dari datangnya bersedih?

Oleh karenanya, jangan terlalu bahagia, kalau terlalu bahagia, tentu saja kamu akan mendapatkan sedih yang sangat. Ketika engkau mengenal diksi bahagia, sesungguhnya disitu juga kamu harus kenal dengan diksi sedih. Sebab sebelum bahagia, kamu berkeadaan apa?

Tidak bahagia.

Tidak sedih.

Terhampa keadaan.

Mulai merasa bahagia.

Bahagia.

Bahagia yang sangat.

Bahagia sekali.

Itu semua siapa yang merasakan, Taufik? Bukankah rasa-rasa itu pada padamu. Kalau kau hapuskan diksi itu, adakah sesuatu yang namanya bahagia? Adakah sesuatu yang namanya sedih?

Sayang kamu mengeluh kepadaku tentang deritamu, baiklah, saya kasih solusi—caranya, tetap dengan caraku. Begini:

Ketika engkau telah mengklaim menjadi manusia, maka engkau harus menerima resiko menjadi manusiawi. Rasa-rasa yang ada padamu, adalah manusiawi. Sedih, bahagia dan sebangsanya melekat pada manusiawi. Kalau dulu, engkau tidak merasa ‘sesedih’ ini, tentu engkau dulu belum layak disebut sebagai manusiawi. Sekarang, engkau telah mendarat menjelma manusia. Menjadi manusiawi. Tentu, terimalah kelengkapan manusiawi. Itu wajib, tidak bisa tidak.

Terimalah kelengkapan manusiawi secara utuh.

Lihatlah kebutuhan pokok manusia.

Amatilah kebutuhan pokok manusia.

Kalau kebutuhan pokok terpenuhi, maka yang lain mengikuti, dan engkau harus mengerti tentang prioritas-prioritas. Mengenal jelas tentang prioritas. Lalu petak-petakanlah tentang kebutuhan kebutuhan.

Kau tahu, manusia itu harus bekerja, untuk mencukupi kemanusiaannya.

Manusia itu harus berinteraksi, untuk melengkapi rasa kemanusiaannya.

Manusia itu harus menjalin kemanusiaan: supaya mengerti jalinan realitas kemanusiaan, adanya info tentang kemanusiaan, info tentang pekerjaan, info tentang-tentang apa-pun yang berhubungan dengan manusia.

Oleh karenanya masih adanya hubungan realitas manusia dengan manusia lainnya. Sekali pun zamannya penuh dengan zaman internet, atau zaman apa-pun. Begitulah manusiawi. Selanjutnya, karena kebutuhan alami manusia, maka ia menikah. Karena menikah, jadilah jalinan kemanusiaan yang utuh. Hingga kemudian engkau mempunyai pundi-pundi dunia, disebut harta.

Selanjutnya engkau mempunyai anak.

Anak-anakmu lahir dengan zaman yang berbeda.

Anak-anakmu melihat dunia sesuai dengan zamannya.

Anak-anakmu itu, mengantungkan diri kepadamu.

Dia hidup berserta dunianya. Dia hidup berserta dengan seperangkat keduniaan. Dia bermain selayaknya anak-anak yang lain. Dia bergembira selayaknya anak-anak yang lain. Dia menangis. Dia tertawa. Dia bersedih atas kehilangan sesuatu. Lalu berhenti. Kemudian dia terjatuh. Dia sakit. Dia berkata tentang rasa sakit yang dialaminya. Ketika menginjak dewasa. Ia mulai terlihat jarang mengeluh. Tatkala kondisinya panas, dia tidak mengeluh. Lantas sang ibu mengetahui bahwa tubuh anaknya, panas. Lalu sang ibu menganjurkannya periksa. Tervonislah dia sakit.

Dia di rawat di rumah sakit. Lalu sang ayah datang, memberikan uang untuk pengobatan. Ayah itu berdoa kepada tuhannya, untuk keselamatan anaknya. Semoga diangkat rasa sakitnya.

Tidak lama kemudian. Si anak sehat. Keluar dari rumah sakit.

Banyak teman-temannya menjenguk. Berbagai diksi sakit digelontarkan. Anakmu menjawab tentang pertanyaan-pertanyaan tentang kesakitan. Lalu anakmu ditanya tetang bagaimana pengalaman di rumah sakit. Ditanya tentang rasa-rasa di rumah sakit. Dengan lancar anakmu menjawab pertanyaan itu.

Beberapa tahun kemudian. Anakmu menjadi dewasa. Pergaulan anakmu semakin luas. Pengetahuannya bertambah. Dia jarang mengeluh tentang sakit. Dia jarang berbicara tentang rasa sakit. Dia ingat dirinya pernah sakit. Lalu sembuh.

Sekarang dia hidup bersama pensyukuran hidup. Karena jarang sakit. Ringkas cerita, anakmu menikah. Mempunyai keluarga baru. Lalu mempunyai anak. Itulah cucumu.

Begitulah jalinan hidup yang normal, Taufik.

Duka, derita, bahagia, sakit atau diksi-diksi semacam itu: adalah pelengkap dari kemanusiaan. Karena sekarang engkau menjadi manusiawi, maka terimalah dengan sabar dan rasa syukur. Kenanglah itu.

Belum ada Komentar untuk " NASIHAT: TENTANG KONDISI ATAU KEADAAN YANG DI SEBUT ‘DERITA’ "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel