NGAJI KITAB MABADI FIKIH: Kita Harus Menangkap Sekali lagi ‘Maknanya’ Syahadatain.


Kitab Mabadi Fikih




Apa makna ashaduallailaha illa allah?

Maknanya, saya menyakini sesungguhnya allah itu satu—allah itu cuma satu, yaitu allah—tidak menyekutukan-Nya di dalam ibadah kepada Allah dan kekuasaan—kesemestaan—Allah.



Sebenarnya yang kita pelajari ini adalah fikih untuk pemula, namun, sejauh saya belajar filsafat—filsafat itu, tentang ilmu tentang kebijaksanaan; yang untuk mendapatkan itu, orang harus cerdas dengan akalnya— saya menemukan, bahwa ‘kegalauan’ saya terhadap agama, telah terjawab oleh kitab fikih ini, mengapa? Sebab kegalauan agama saya karena melihat realitas orang beragama, tidak selaras dengan apa-apa yang telah mblarah terhadap keagamaan.



Maksudnya begini:



Kita sudah sangat hapal dengan istilah ‘syahadatain’, sangking hapalnya, kita lalai bahwasanya ‘harusnya’ kita memegang itu kuat-kuat, alasannya, karena itulah prinsip kita. Namun, kenyataannya, kita sering kemasukan istilah-istilah prinsip di dalam kehidupan kita. Walau sebenarnya, harusnya kita ‘tetap’ menyantolkan ‘prinsip’ syahadatain itu. Harusnya nyantol benar.

Lha setiap hari kita mengucapkan syahadatain

Setiap hari kita mendengarkan syahadatain

Setiap hari kita ‘sangat’ akrab dengan syahadatain.

Namun, manusia itu memang sering lalai terhadap apa yang dimilikinya. Begitu kan?



Oleh karenanya, kita penting ingat sekali lagi, lebih lama tentang makna syahadatain yang nyerbu di kehidupan kita, berlalulang di antara kita, kita harus ‘menangkap’ sekaligus menjala itu dan memarkirkannya ke dalam dada atau pemikiran kita, bahwasanya itulah prinsip kita. Dengan begitu, maka kita akan bahagia, sebagaimana fungsi dari agama islam yakni untuk menunjukan dan membahagiakan manusia.



Apa yang diresahkah di dunia kalau ‘dunia’ adalah milik-Nya?

Apa yang kita iri-kan kalau ‘semua’ adalah milik-Nya?



Tapi rupanya, kenyataannya, kehidupan tidak semulus seperti itu, harus ada aturan ini dan itu, begitulah kehendak Allah, memberikan peraturan tentang bagaimana ‘hidup’ di bumi, kalau kita mau bahagia, maka patuhilah apa yang ditawarkan oleh allah. Caranya, yaitu mengikuti sang ‘utusan’ yang ditunjuk oleh Allah, yakni Kanjeng Nabi Muhammad. Intinya, kita harus kuat-kuat menyakini tentang allah. Caranya, ya belajar terus menerus. Begitu.

Selanjutnya,

Apa makna ashadu ana muhammadarrasullalllah?

Maknanya, saya meyakini bahwa sesungguhnya (nabi) Muhammad itu, utusan dari Allah—utusannya Allah; Allah mengutus orang untuk menyampaikan kabar dari-Nya yakni Nabi Muhammad—kepada seluruh mahluk –khususnya manusia—dan wajib mentaati yang diperintahkannya lagi membenarkan apa yang dikabarkan olehnya, serta menjauhi apa yang cegah dan di larang olehnya.


Penjelasannya begini:



Kita harus yakin bahwasanya nabi Muhammad itu, manusia yang di utus allah. Begitu. Rasa yakin, tentu, munculnya di dalam diri kita masing-masing, dan tentunya rasa yakin itu, sebenarnya gampang.



Kamu yakin padaku?

Jawabnya: ya! Saya yakin.

Dimana letak yakinmu?

Jawabnya, di dalam diriku.



Jadi setiap muslim, dianjurkan, secara pribadi, dewe-dewe, itu harus menyakini. Individu, itu sangat penting di dalam tubuh-muslim, maksudnya, amal-amalan itu kan berkaitan dengan keindividuannya, namun, manusia itu selain mahluk yang individu adalah mahluk sosial, artinya tidak bisa melepaskan dari seserawungan manusia yang lain. Begitu.



Selanjtunya, kita harus taat kepada Nabi Muhammad. Lha beliau itu, utusannya Allah, Allah mengutus dia. Karena kita taat, tentu kita menjauhi apa yang dicegahnya dan apa yang dilarang olehnya.

Ini masuk kepada hokum kan? artinya, kita dikenai sesuatu untuk menjalankan apa yang diperintahkannya.

Apa sih yang diperintahkannya? Sebenarnya kita telah tahu banyak, kenang saja tentang apa-apa yang diperintahkan.

Apa sih yang dicegah dan dilarang? Sebenarnya kita telah tahu banyak, kenang saja tentang apa-apa yang dicegah dan dilarang.

Oleh karenanya, kita wajib, untuk belajar, sinau, lebih jauh, sekali lagi, berkali-kali untuk mengetahui: Apa-apa yang diperintahkan!

Apa-apa yang dicegah dan dilarang!

Kalau tidak sempat, maka ya datang kepada orang yang berilmu, orang yang mengetahui, atau bisa buka kitab, buku, atau internet.

Sekarang itu, zaman informasi, banyak bertebaran informasi, hanya saja, kita mau mengambil atau tidak. Jangan dulu gegabah, mengatakan bahwsanya, apa-apa yang dinternet itu adalah data-data yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan: ada kok yang bisa dipertanggung jawabkan. Pokoknya, harus punya guru-nyata, guru-realitas, untuk melaporkan apa-apa yang ditangkap oleh diri terhadap kajiannya.

Artinya, belajar boleh mandiri, selanjutnya, di konfirmasi kepada guru tentang apa yang dipelajari. Ringkas kata, guru itu menjadi saksi terhadap kajiannya, kalau kamu kurang benar, maka guru bisa membenarkan. Kalau kamu pusing tentang keilmuan, guru bisa meredamkan, guru tahu caranya, guru paham arah-arahnya.

Akhir kata, mari kita tangkap kembali, sekali lagi lebih lama, makna dari syahadataian.

Ya allah tambahkanlah ilmu kepada kami, dan mudahkanlah pemahaman kepada kami. Amin. 

Belum ada Komentar untuk " NGAJI KITAB MABADI FIKIH: Kita Harus Menangkap Sekali lagi ‘Maknanya’ Syahadatain. "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel