Pamflet Api



Begini tulisannya, “Bubarkan saja agama islam. Agaknya, kita sudah tidak butuh agama islam. Bubarkan! Kita sudah tidak butuh agama islam. Bubarkan!”

Tentu pamflet tersebut membuat geger kampung. Tak ada yang bisa menolak keberadaan pamflet. Pamflet telah terpasang. Telah terpajang. Siap merasuk pada pikiran yang membaca. Siap membuat cela untuk digerami. Siap membuat cela untuk sekedar disangka celotehan. Rupanya, pamfelt tersebar di seluruh kampung. Terpajang di tempat-tempat yang mudah dibaca. Di setiap pintu, di lantai tepat depan pintu. Di kaca jendela. Di tembok-tembok sebelah rumah. Di tempat-tempat keramaian. Tempat mangkal. Nongkrong. Gardu. Sekolah. Gedung kosong. Pasar-pasar. Dapat dikatakan,

“Kampung pamflet.”


***


Langit hitam. Gelap. Malam. Tidak ada bintang gemintang. Bulan hilang. Dingin mencekam. Hujan pun tak kunjung reda. Terus saja. Langit menurunkan rezeki. Membuat orang-orang nikmat berteduh di ranjangnya. Berselimut. Atau, menyeruput teh atau kopi penghangat tubuh.

Tak ada fajar menyingsing. Tak ada lampu menyala. Azan telah dikumandangkan. Tapi gemercik hujan lebih deras daripada pengeras suara. Mushola sunyi. Masjid pujian. Satu, dua orang yang datang. Malah setengah jam pujian, yang datang hanya orang itu saja. Satu keluarga imam, satu keluarga takmir. Selain itu. Di dalam rumah. Hujan, angin, telah meruntuhkan semangat jamaah ke masjid.

Tepat pukul 6 pagi. Hujan reda. Angin reda. Lampu menyala. Pamflet telah terpajang begitu adanya. Katanya, “Sambutlah aku wahai para mata-mata.”


**


“Siapa yang menulis ini? Siapa? Edan. Pancen edan.” Katamu.

“Aku juga tidak tahu. Tulisannya ada dimana-mana. Bagaimana ini?”

“Laporkan pada pak lurah dengan segera...” kata yang lain, sambil menyincingkan sarung.

“Allah pasti murka. Pasti murka,” Sambut yang lain.

Kau geram. Mengepalkan tangan. Memukul kepalanmu pada telapak tanganmu yang lain. Mulutmu merengut. Kumismu mengangkat. Matamu agak melotot.

Katamu, “Orang yang membuat keonaran di kampung kita. Patut diadili. Mesti diberi pelajaran. Tidak bisa dibiarkan. Mari kita laporkan Pak Lurah.”

Kau melangkah menuju rumah Pak Lurah. Wajahmu pahit. Tidak enak rasanya. Sambil melangkah. Cakarmu beraksi, merobek tulisan yang nempel-nempel itu. Tulisan kurang-ajaran.

“Lemnya banyak sekali.”

“Robek saja semampumu,” katamu. Sambil mengajak orang-orang yang berada di luar untuk parkir di halaman rumah Pak Lurah.

Keributanmu bersama orang-orang. Obrolan samar diselimuti marah dan amuk, di tepi dan di jalan terdengar dari dalam rumah. Sontak, para pendengar penasaran. Keluar.

“Ada apa?”

“Pokoknya penting!”

“Apa sih?”

“Agama islam mau dibubarkan,” jawab yang lain.

“Apa!”

Kau terkejut. Matamu melotot seketika. Isterimut terkejut, katanya, “Mereka mau kemana, Pak?”

“Entah. Aku tak tahu.”

“Pak lurah,” jawab yang lain.

Rupanya, di jalan, orang-orang juga berbondong-bondong menuju rumah Pak Lurah. Pamflet bertebaran dimana-mana.

Sambil berjalan. Sambil merobek. Sambil mulutnya protes.

Ada juga yang berkata, “Ke tempat Pak Kiai saja.”

Maka mereka memisah menjadi dua. Sebagian ke tempat Pak Lurah. Sebagian ke tempat Pak Kiai.

Mereka berteriak mengedor rumah Pak Kiai. Mengedor rumah Pak Lurah.

Pak lurah tidak bisa berbuat apa-apa. Bagai diteror rakyatnya. Rakyat geram, seolah-olah kegeramannya ditunjukan pada Pak Lurah. Seolah-olah Pak Lurah adalah Tuhan. Tempat mengadu. Pokok dari mereka.

Selama perjalanan mereka sepakat untuk mencari tahu siapa pelaku pamflet. Siapa pemasang pamflet. Cara mereka berdiplomasi sederhana: dari mulut ke mulut.

“Sampai ke belakang: kita cari pelakunya. Sampai ketemu. Bagaimana pun caranya. Bagaimana pun.”

Pagi ini, ‘suasana’ libur.

Sekolah libur. Makan pagi libur. Orang-orang berdemo.

Akhirnya Pak Kiai keluar dari rumahnya.

Katanya, “Pulanglah. Ajak keluargamu ke Masjid. Dalam keadaan suci. Ingat! Wudunya, jangan hanya kecipak-kecipuk. Kembalilah.”

Orang-orang terkejut mendengar kata Pak Kiai.

Mereka terbengong. Ada yang melongo. Ada yang tidak percaya.

“Laksanakanlah,” Imbuh Pak Kiai, dan bergegas menuju daun pintu. Hilang.

Mereka saling pandang. Matanya berkata-kata. Ada yang berbisik.

“Memangnya kalau agama islam bubar kenapa! Agaknya tidak masalah?”

“Lha ya, memangnya kalau agama islam bubar kenapa? Mengapa kita merasa repot?” Imbuh yang lain.

“Bubar ya kono, ora bubar ya kono,” kata yang lain lagi.

“Lha bagaimana, masak kita membubarkan agama? Bagaimana agama bisa bubar?”

“Kalau menurutku, sih. Mana mungkin agama islam bisa bubar. Lha memangnya agama itu seperti sapu. Sekepel thok! Mustahil.”

“Tapi mengapa kita merasa risih dengan pamflet tersebut ya, Kang?” katamu.

“Aku juga tidak tahu. Mengapa aku begitu geram tatkala melihat pamflet tersebut?” kata yang lain, sambil duduk dan mengetuk-ketuk jarinya.

“Ayolah kita pulang saja!”

“Tapi nanti kita kembali,” labrak yang lain, “Kembali ke sini, ke masjid,” imbuhmu segera, ragu.

“Untuk apa! Agama tidak bisa bubar. Memangnya bagaimana caranya agama bubar. Coba terangkan? Bagaimana?”

“Aku juga tidak tahu. Apakah agama bisa bubar. Tolol saja itu yang membuat pamflet.”

“Ah, kamu Kang,” helak yang lain. Tangannya menampar angin. “Tadi nafsu benar merobeknya. Mengapa? Mengapa?”

“Aku juga tidak tahu. Aneh saja. Mendadak geram sekali.”

Pak Lurah berjalan melewati rakyat yang duduk ragu. Dan berkata, “Bagaimana Pak?”

Mendadak diserobot tanya. Ya, dari pertanyaan yang terbang pada pak lurah selalu bagaimana. Selalu dimulai bagaimana. Tidak ada permulaian selain bagaimana. Selalu di mulai bagaimana.



Padahal Pak Lurah pernah berkata, “Ini soal agama. Alangkah baiknya dikonsultasikan pada ahli agama.”

Tapi orang-orang di sini bukanlah orang-orang yang mendengar Pak Lurah berkata. Mereka tahu tatkala dibelakangnya yang menjawab. Pak lurah menguci mulutnya. Diikuti jubir-jubir dadakan.

“Sstt...! Jangan tanya terus,” kata jubir.

“Tapi bagaimana.”

“Tunggu apa kata Pak Kiai,” jawabnya simpel.

Pak lurah memberi salam Pak Kiai. Mereka berdialog.

“Apakah kamu tahu jawaban mengapa mereka khawatir, resah, dan geger terhadap apa yang terjadi?”

“Tidak, Yai.”

“Tadi telah kukatakan. Kumpulkan seluruh keluarga supaya datang ke masjid. Tapi sebelumnya bersuci dulu. Dan juga, wudunya jangan kecipak-kecipuk. Tapi mereka masih juga nongkrong dan bingung.”

“Haruskah,” Pak lurah menyela, “Disiarkan pada masjid Yai?”

Pak Kiai manggut saja.

“Tapi, mengapa harus di Masjid? Bukannya bisa kusampaikan langsung padanya. Bukannya kelar sudah masalahnya?”

Pak Kiai menggeleng dengan tenangnya. Dan meneruskan, “Masalah agama, hanya bisa diselesaikan dengan cara agama, Nak,” tutupnya.

ditulis Juni 2013 di edit 2017

Belum ada Komentar untuk "Pamflet Api"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel