NGAJI MABADI FIKIH: Niat, Dasar Yang Mengetahui Tujuannya.





Apa niat wudhu?

Nawaitu rof’al Hadasil Asghori (Saya niat wudhu menghilangkah hadas kecil)


Dalam perjalanan mengaji kitab mabadi fikih, saat yang mulang di suatu desa dan itu dilakukan di masjid, sehabis subuh, saya senantiasa mengandeng guru saya—sebagai sandaran—Haidar Buchori, dikala sebelum mulang, ketika bingung saya tanyakan, ketika saya tidak jelas, saya tanyakan.

Beliau pernah berkata, ‘Percayalah kepada kitab, Fik, jangan ‘percaya’ dengan yang orang-orang kerjakan, karena yang orang-orang kerjakan itu ‘menyandarkan’ kepada kitab.’ Maksudnya, saya disuruh untuk mempercayai kitab, hal itu terjadi, karena saya sendiri pun, sebelum mengulang, melakukan-sesuatu, yang tidak sesuai dengan kitab.

Kembali ke kitab.

Saya tidak mempersoalkan tentang niat yang itu, apakah dikeraskan atau diucapkan secara lirih, yang pasti, orang itu meniatkan diri, untuk melakukan sesuatu. Dalam kitab al-adzar disebutkan tentang tiga macam dzikir—maksud saya, mengingat untuk melakukan sesuatu, termasuk juga dalam kategori dzikir—tanpa suara, sedang, dan keras, itulah ketiga macamnya. Dengan begitu, saya juga menerapkan dalam ngaji ‘niat’ di sini: boleh keras—biasanya anak-anak sedang latihan--, boleh sedang , boleh tanpa suara.

Selanjutnya, dalam kitab ini: niat seperti yang telah saya sebutkan adalah —saya niat wudhu menghilangkan hadas kecil-- jika ditanyakan, apakah niat boleh menggunakan bahasa-selain arab?

Jawabku, saya menyandarkan sebagaimana hukumnya shalat, yakni ‘harus’ menggunakan bahasa arab, sehingga lidahnya terbiasa menggunakan bahasa arab; terlebih lagi, pernah saya tanyakan kepada guru saya:

“Penting mana ‘pemahaman’ teks atau pemahaman makna?”

Jawabnya, kalau bisa ya keduanya.

Beliau tidak menawarkan tentang terang opsi yang saya tawarkan, yakni soal kepentingan hal tersebut; sebab, kalau dipentingkan pemahaman teks, maka maknanya berkurang. Kalau dipentingkan makna, maka teksnya tersisih. Dan bila teks-tersisih, maka yang terkengkangkang dalam mind-set akan senantiasa makna.

Jawaban saya, penting teks, selanjutnya harus dimaknai, oleh karenanya saat mengajarkan diartikan tentang makna dari teks, dan ini penting, wal-hasil, tetap menjaga originalitas kebahasaan dalam bahasa arab. Sebab ini, masuk dalam tataran ibadah.

Mari kita analogikan tatkala kita menunaikan perjalanan—tentu ini sebuah contoh yang nyata tentang penempatan ‘niat’: apakah niat itu diucapkan saat hendak melaksakan perjalanan? Kapan sebenarnya niat itu dilaksakan? Jika niat dalam suatu perjalanan, langkahan kakinya adalah besok pagi, maka malamnya adalah rencana, belum melaksanakan perjalanan. Namun, jika matahari telah terang (pagi) dan kita hendak melangkahkah diri untuk perjalanan, maka disitulah letak niatan yang nyata. yakni, niatan yang bukan-lagi angan-angan, melainkan niatan yang akan dikerjakan.

Pendek kata, janganlah kamu berangan-angan, jika ada kesempatan untuk melakukan sesuatu, niatlah.

Selanjutnya, soal redaksi teks niat—sering saya sertakan diksi lilahita’ala dalam niatan (inilah termasuk yang menjadi sebab-musabab pertanyaan kepada gurunya, yang pertama, sehingga beliau berkata: percayalah pada kitab. Yakinlah pada kitab) sebelum mengaji kitab Mabadi Fikih, namun setelah saya mengkajinya, dalam ibadah, dalam wudhu, saya tidak menggunakan lafat lilahita’ala (karena allah ta’ala), tujuannya karena saya percaya kepada kitab. Saya percaya kepada guru. Namun, kalimat saya ini jangan dipatokan, jangan jadi ukuran.

Mari kita kenang, tentang fungsi dari kitab mabadi fikih ini, ini adalah kitab untuk anak-anak, kitab untuk pemula, baik untuk sandaran, tapi penting untuk mengkaji lebih lanjut, namun dalam kitab ini, menggunakan redaksinya mudah dan simpel, tujuannya, tentu mengukur bagaimana fungsi kita ini digunakan.

Terlebih lagi, kita telah menjalani rutintas wudhu, tentang aktifitas wudhu, keberadaan saya sekarang ini, adalah mengingatkan sekali lagi, tentang bagaimana ‘keniatan’ sebelum melaksanakan wudhu. Demikian.

Mudah-mudahan kita senantiasa istiqomah dan tetap menjalankan apa yang telah kita ketahui. Rabbana la tuzig qulu bana ba’da idhataina wa hablana milanduka rahmah innaka antal wahab. Amin.

Belum ada Komentar untuk " NGAJI MABADI FIKIH: Niat, Dasar Yang Mengetahui Tujuannya. "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel