NGAJI MABADI FIKIH: AZAN, Sebuah Panggilan, Tanda Seru untuk melakukan shalat: Ingat, tiada tuhan selain Allah.






Apa yang dilakukan orang sebelum shalat?

Dilaksanakan Azan kemudian iqomat.


Di lingkungan atau Negara yang beragama islam, maka sudah tidak asing dengan hal tersebut, apalagi di zaman yang seperti sekarang ini, zaman informasi, zaman technology, maka sudah semakin marak terhadap pengetahuan tentang keislaman, apalagi tentang acara persolatan; terlebih lagi tentang hal azan dan iqomat, orang-orang telah sangat umum, mengetahui hal tersebut.

Ngaji pun sudah berbagai variasi, terlebih lagi, orang-orang terpancing untuk mencapai keislaman-yang sungguh matang, dan terkesan laksana orang-orang yang hebat, seakan-akan menjadi kiai atau pantas menjadi kiai, ulama, padahal menjadi seperti kiai atau ulama itu bukanlah perkara yang ringan, bukanlah perkara yang enteng. Penting diketahui, bahwasanya menjadi ulama itu penting menjalankan keilmuan islam.

Harusnya, di zaman yang serba canggih ini, kita akan mengetahui wujud-wujud ulama kontemporer, ulama yang mengetahui tentang syariat secara keseluruhan, tapi rupanya, zaman mengajak manusia, untuk melompat-lompat pemikirannya, itulah zaman postmodern, zaman sekarang ini: pemikiran umat-muslim melompat-lompat.

Sebabnya, orang-orang mencari pengetahuan sembarang, orang-orang mencari data-data pengetahun terserah dan itu menurut kehendak-dirinya, menurut apa yang dirasakan oleh dirinya, padahal transfer ilmu, atau pelaksana dari keilmuan islam, tetap saja berjalan tenang, tidak cepat, tidak juga lambat. Tenang. Santai.

Oleh karenanya, di pondok pesantren, tradisi mengaji tetap saja kitab-kitabnya adalah kitab yang umum diajarkan; seperti sulamun taufiq, taqrib, fathul qorib, taklimmu taklim, nahwu, shorof, jurumiyah, imriti, kalau tafsirnya yang paling umum adalah tafsir jalalain. Selanjutnya, kitab yang keren—ini biasanya diajarkan kepada mereka yang tua—yakni Ihya Ulumudiin karangan Imam Ghozali. Ketika saya mengaji tafsir jalalain, itu bukan waktu yang sebentar, namun berhari-hari, karena bukan ngaji pasaran, ngajinya sekedar ba’da magrib dan ditutup isya.

Artinya, perjalanan proses pengetahuan itu lambat, karena kapasitas penangkapan pikiran itu tidak cepat, sementara zaman menuntut untuk cepat dan tergesa-gesa, sebabnya kenapa? Karena zaman informasi, zaman meledaknya kabar-kabar, maraknya isu-isu, menjadi pemikir-pemikir individu, agama tangkapan individu, sebabnya lagi: dalam kajian filsafat, zaman sekarang: adalah zaman yang sarat dengan subjektifitas.

Simaklah maraknya facebook, bukankah hal itu adalah wujud-wujud dari subjektifitas, setiap individu menyuarakan keindividuannya. Sebenanrya hal seperti itu tidak salah. Manusia memang mahluk individualis kok ya!Lho-lho kok bisa nyampai ke sini. Anggap saja refleksi. Searing pengetahuan.

Kembali ke kitab.

Jadi ringkasnya, apa yang dilakukan sebelum shalat, yakni dilakukannya azan, setelah itu barulah qomat. Sekali pun shalat dalam arti bisa dikatakan doa, dalam islam, sebelum berdoa-utama ada cara lain yang harus dikerjakan, yakni diadakannya azan dan iqomat.

Bagaimana kalau dilakukan sholat individu (sebutlah solat sunah), apakah dianjurkan untuk melakukan azan, yang mana azan itu dilakukan oleh diri pribadi?

Jawabku, kalau mengikuti kitab ini—saya pernah bertanya kepada guru saya, Haidar Buchori, lalu jawabnya: kamu harus percaya pada kitab itu, Fik, yakin dengan kitab itu. Sejak saat itu saya yakin dengan kitab ini—maka boleh saja, dilakukan, malah baiknya harus dilakukan, sebab, azan itu untuk diri kita sendiri, iqomat itu pun untuk kita sendiri: kita telah menyadari bahwa kita penting melakukan hal tersebut, memanggil jiwa, atau kesadaran diri kita untuk menunaikan shalat. Azan, memanggil, panggilan diri kita sendiri. Menyeru, kepada diri-kita sendiri. Siapa diri kita sendiri? Yakni, tentang pikiran (hati) dan tubuh kita.

Nah sekarang, mengapa penting di azankan? Lalu diiqomatkan?

Jawabnya, dengan diazankan maka orang-orang yang lalai akan datang, harapannya. Orang-orang yang sibuk, sejenak terenyuh dengan diksi-diksi azan: bukankah diksi-diksi azan berisi tentang keesensian agama islam itu sendiri? Terlebih lagi dahulu kala, di masa kanjeng nabi, maka orang azan adalah orang yang ‘berteriak’ kencang untuk menyeru umat-muslim, bahwa ayolah kita shalat, shalat bersama-sama, ingatlah bahwa tiada tuhan selain Allah. Ingatlah, dunia sekarang ini, adalah dunia sesaat, marilah istirahat sejenak dan menyembah kepada seluruh pemilik semesta.

Sejak saat itu, maka seruan, menjadi, ya tetap, menjadi sebuah seruan. Yakni menyeru orang-orang untuk lebih mengingat akan ketuhanan, mengingat akan Allah yang pemilik semesta. Begitu.

Mudah-mudahan kita orang-orang yang mendengar ‘panggilan’ dan kita termasuk orang yang menjawab panggilan dan melaksankannya. Rabbana la tuzihg qulu bana ba’da idhadaitana wahablana minladunka rahmatan innaka antal wahhab. Amin. 

Belum ada Komentar untuk " NGAJI MABADI FIKIH: AZAN, Sebuah Panggilan, Tanda Seru untuk melakukan shalat: Ingat, tiada tuhan selain Allah. "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel